Roda-Roda Nada di Jogja Netpac Asian Film Festival 2022


Crew Rekamfilms, 20 November 2022

 

Catatan Program Indonesian Screen Awards

Pertumbuhan perfilman Indonesia di tahun 2022 mematahkan kekhawatiran beberapa prediksi tentang kesulitan yang akan dihadapi perfilman Indonesia ketika angka pandemi mulai melambat. Diharapkan dimulai dengan stagnasi dan berjalan lambat, film Indonesia justru melesat. Jumlah penonton sedikit melampaui rekor penonton di tahun 2019. Persentase penonton film Indonesia juga telah melampaui jumlah penonton film non-Indonesia. Rekor penonton terbanyak dipecahkan dengan “KKN di Desa Penari” yang mencapai lebih dari 9 juta penonton. Suasana yang sangat optimis segera tercapai.

Sukses tanpa konsistensi yang terlihat dan dapat dilacak adalah buatan. Konsistensi bisa terwujud jika ekosistem, tidak hanya produksi, dan tidak hanya film fiksi panjang, berjalan dengan baik. Pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya tahun lalu, jumlah peminat film layar lebar Indonesia sangat banyak dan beragam. Tahun ini jumlahnya lebih sedikit dan lebih menantang tim program untuk menentukan film mana yang juga akan diikutsertakan dalam program kompetisi Indonesia Screen Awards.



Kami juga menyertakan beberapa fitur dokumenter dalam program ini. Keputusan untuk menggabungkan fiksi dan dokumenter adalah hal yang lumrah dalam festival-festival dunia, jadi tidak salah jika kami mencoba memasukkannya. Ada dua film dokumenter dalam program ini. Berbicara tentang peristiwa tahun 1965, dan mereka yang kehilangan kewarganegaraan hingga tidak bisa kembali ke negara asalnya, bukanlah hal yang baru dalam rangkaian film tentang tahun 1965. Orang-orang buangan ini kemudian merekam situasi terkini dari mereka yang ditelantarkan. oleh negara mereka. “Roda-roda Nada” dari Yuda Kurniawan mengabadikan peristiwa di daerah pinggiran kota tentang mimpi, cinta, dan musik.



Bicara soal musik, “Galang” dari Adriyanto Dewo juga membahas hal yang sama. Adegan musik underground dan rasa sakit karena kehilangan keduanya muncul dalam film tersebut. Musik keras juga mengiringi film “Balada Si Roy” dari Fajar Nugros. Adaptasi cerita populer dari hampir lima dekade lalu ini diceritakan dengan gaya modernistik lengkap dengan tampilan dan percikan zaman. “Mencuri Raden Saleh” dari Angga Dwimas Sasongko adalah film yang sangat modern. Sebuah bentuk drama baru tentang sebuah pencurian, berlatarkan ruang yang lebih luas dan situasi yang lebih sempit, dengan berpacu dengan waktu.



Dua film memposisikan laut sebagai sebuah cerita. "Cross the Line" dari Robby Ertanto berlangsung di atas kapal. Ceritanya menampilkan harapan untuk mencapai tujuan yang lebih baik meski terjebak dalam pusaran yang tak terhindarkan. “Sound from the Sea” karya Khusnul K Hitam menggunakan sudut pandang anak kecil dalam mencari kebebasan dan mengejar mimpinya. Sebuah film horor karya Ismail Basbeth, “The Portrait of a Nightmare”, telah terpilih untuk masuk dalam paket Indonesia Screen Awards. Ini adalah perjalanan melalui kegelapan mencari secercah cahaya.

Tiga film dari tiga kota berbeda juga telah dipilih. Labirin antara imajinasi dan kenyataan, mimpi dan kenyataan tentang seorang anak laki-laki dan neneknya dieksplorasi dalam “History of Untellable Tales” dari BW Purbanegara, yang diambil di Bali. Ada petualangan mencari sapi yang dianggap sebagai aset keluarga dalam film asal Makassar, “Sahara” yang disutradarai oleh Zhaddam Aldhy Nurdin. Terakhir, ada perjalanan perempuan Papua meraih mimpi yang disutradarai oleh sutradara Papua Theo Rumansara berjudul “Orpa”.

Semoga ke depan film-film cerita Indonesia juga tetap terjaga atau bahkan lebih hidup dalam keberagamannya. Tentunya kita berharap infrastruktur fisik dan non fisik terus mendapat dukungan. Nikmati keberagaman film layar lebar Indonesia di program Indonesia Screen Awards.

Berita Lainnya