Untuk ketiga kalinya Project film kami terpilih dalam film market dan pitching forum Akatara Indonesia, setelah sebelumnya "Nyanyian Akar Rumput" Akatara 2018 dan "Roda-Roda Nada" Akatara 2019 yg akan dirilis tahun ini. Kali ini saya dan Bang Imran Hasibuans membawa film dokumenter panjang "Rendra dan Aku" yg sedang dalam tahap produksi. Sebuah kebahagiaan tentunya project film kami terpilih untuk live pitch dan dipresentasikan langsung di atas panggung dihadapan para calon investor dan stakeholder perfilman. Semoga film ini dilancarkan prosesnya dan bisa segera di tonton khalayak semua.
“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.. itu adalah sepenggal puisi karya WS Rendra yang terus menggema hingga hari ini. Sebagai aktor panggung, tak ada yang bisa meragukan keunggulan Rendra. Sebagai penyair, tak ada yang mampu membantah kecermatannya memilih kata-kata dan meragukan perannya dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Sebagai sutradara teater, tak ada seniman maupun pengamat yang menafikan sumbangan kreatifnya bagi kebudayaan Indonesia. Karya-karyanya bertebaran bukan hanya dalam bentuk sajak, puisi dan teater tapi juga lirik lagu. Kita bisa dengar betapa dahsyatnya lirik karya Rendra seperti “Paman Doblang”, “Kesaksian” dan lainnya yang digubah menjadi lagu oleh supergrup Kantata Takwa yang turut dibentuknya.
Bengkel Teater yang didirikan Rendra tak hanya menjadi semacam kelompok teater, tapi berkembang sebagai sarang seni budaya. Bahkan bagi para seniman yang pernah tergabung disana, Bengkel Teater Rendra pada sebuah masa pernah menjadi Universitas Kesenian dan Kehidupan yang tiada duanya. Beberapa seniman yang pernah tergabung dalam Bengkel Teater antara lain: Azwar A.N, Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Arifin C Noor, Radar Panca Dahana, Adi Kurdi dan masih banyak lagi.
Rendra adalah maestro dalam lanskap kebudayaan Indonesia. Lewat puisi-puisinya, Rendra mengetengahkan semangat kemanusiaan. Lewat drama yang dipentaskannya, Rendra menghadirkan kritik dan perenungan. Sementara dalam ruang-ruang pergaulan, Rendra memberi warna bagi pemikiran kebudayaan di masanya. WS Rendra adalah daya hidup yang terus menggelora. Karya-karyanya; puisi, teater, esai, dan sebagainya sampai hari ini masih dibacakan, dibicarakan, dipentaskan. Sepanjang hidupnya, berbagai gelar disematkan kepada Rendra: maestro, pangeran panggung, si burung merak, dan lain-lain. Berbagai penghargaan di bidang kesenian dan kebudayaan juga telah dianugerahkan kepada Rendra. Semua itu merupakan penghormatan kepada sosok dan karyanya.
Dari tahun 1968 hingga 2005, Rendra dan Bengkel Teater telah mementaskan 23 naskah: 15 naskah adaptasi luar negeri, 7 naskah sendiri dan 1 naskah di luar karya Bengkel Teater. Sejak dasawarsa 1970 rasanya tak berlebihan jika kita menyebut Rendra sebagai laras senjata dari suara kritis hati nurani rakyat Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada naskah drama “Mastodon dan Burung Kondor” yang menyindir kediktatoran dan kesewenangan militer. “Panembahan Reso” yang menyoroti perihal megalomaniak poros-poros kekuasaan, selain itu ada juga “Kisah Perjuangan Suku Naga” yang merupakan cerita satir terhadap kediktatoran rezim Soeharto. Satir dan sindiran yang menggelakkan tawa juga terlihat pada lakon “Sekda” yang berakhir pada pembredelan oleh pihak berwajib dan ini menjadi semacam rutinitas dari setiap pementasan Bengkel Teater yang selalu di cap mengkritik pemerintah.
Film dokumenter "Rendra & Aku" ini adalah salah satu upaya untuk merawat ingatan publik terhadap sosok Rendra. Mengikuti perjalanan hidupnya yang penuh liku sebagai seorang sastrawan dan budayawan yang pernah dipenjarakan oleh rezim Soeharto.
Untuk itulah film dokumenter ini sangat penting untuk dibuat agar kita semua khususnya generasi milenial lebih mengenal dan tidak melupakan WS Rendra dan karya-karyanya yang tetap relevan hingga hari ini.
Sampai jumpa dengan "Rendra dan Aku" di Akatara 2022 mari berkolaborasi bersama kami mewujudkan film dokumenter panjang ini. Project yang telah saya dan Bang Imran Hasibuan inisiasi sejak 2019 yang lalu dan telah merekam kesaksian para narasumber yang otoritatif tentang perjalanan hidup dan proses kreatif WS Rendra, termasuk almarhum Ibu Ken Zuraida, perempuan yang mendampingi Rendra hingga akhir hayatnya.